Mar 12, 2009

Orang Banyumas Tidak Punya Krama Inggil?


Pernah saya bertanya kepada seorang teman tentang penggunaan krama inggil atau bahasa Jawa halus orang orang Banyumas dan sekitarnya yang berbahasa ngapak ngapak terutama, ketika berbicara dengan orang yang lebih berumur. Jawaban teman saya waktu itu “Kayaknya ngga ada lho Wan, wong saya juga ngga pernah basa sama orang tua saya. Kalo basa malah rasanya wagu.” Pertanyaan saya diawali dengan perhatian saya pada teman teman ketika berbicara dengan orang yang lebih berumur dengan bahasa yang sama dengan ketika mereka berbicara dengan teman sendiri. Beberapa teman justru bilang: “Lah memang sudah adate kaya gitu ko, kasar.”

Blakasuta, adalah prinsip yang orang Banyumas sebut. Open mind, straight forward dan egalitarians. Selain itu juga pertanyaan saya berdasarkan perbandingan saya ketika saya di Solo. Saya melihat seorang kernet angkot mempersilahkan orang yang lebih tua untuk masuk ke angkotnya dengan nada yang lemah lembut dan dengan krama inggil yang enak sekali didengar. Dibandingkan dengan kernet angkot Purwokerto yang tidak perduli muda tua laki laki perempuan, dengan lantangnya bicara ‘kasar’.

Kesimpulan saya waktu itu memang mungkin orang orang Banyumas tidak memiliki krama inggil, atau kalaupun memang ada, hanya dipakai oleh orang orang tertentu yang mungkin dari kalangan priyayi. Hal ini bisa jadi karena ke engganan kaum muda untuk belajar dan menggunakan krama inggil sehari harinya dan memilih menggunakan bahasa Indonesia yang dianggap lebih sopan daripada krama Inggil sendiri. Buat Anda yang pernah tinggal di daerah Ngapak (Banyumas dan sekitarnya), seberapa seringkah anda mendengar anak muda umur belasan atau kurang berbicara krama inggil ke orang tua mereka? Hampir tidak pernah kalau saya. Mungkin karena pergaulan saya yang kurang beruntung sehingga saya tidak pernah mendengar teman teman saya berbicara dengan krama inggil ke orang yang lebih berumur? Saya rasa tidak. Karena saya berfikir tata krama tidak mengenal kasta, lseperti contoh kernet di Solo, meskipun faktanya tidak seperti itu. Mengacu pada tulisan saya seblumnya yang mengutip bahwa Banyumas termasuk mancanegara yang berarti jauh dari keratonan yang menggunakan bahasa krama inggil. Lagipun teman teman saya berasal dari sekolah unggulan daerah ini dan Unsoed yang merupakan satu satunya Uni negeri di daerah ini.

Saya tidak membahas penggunaan bahasa di kegiatan formal seperti pernikahan karena itu bukan bahasa sehari hari. Toh juga tidak banyak orang yang mudeng bahasa seperti itu sepenuhnya terutama anak muda. Jadi bisa dibilang sebenarnya bahasa Banyumas hampir sama dengan bahasa yang dipakai di Negara-negara barat yang kecuali “dengan pak, bu, mba dan mas”nya yang tidak mengenal hirarki umur. Begitu juga dengan bahasa Indonesia.

Saya sadar betul bahwa semua bahasa di dunia ini mengalami degradasi, kalau kita bisa menyebutnya demikian, bahkan bahasa internasional itu sendiri. Pengaruh dari berbagai Negara dan berbagai bahasa menjadi salah satu unsurnya dan migrasi dari Eropa ke benua benua penemuan seperti Amerika, Australia, dan Africa Selatan. Awalnya semua bahasa Inggris dari Inggris dan sekitarnya, haha, tentu saja. Tapi begitu mereka menemukan ‘pulau-pulau baru’ bahasa mereka pun berubah meskipun tidak total. Setidaknya dialect dan beberapa frase saja.

Generasi merupakan pengaruh yang besar bagi perubahan Bahasa juga. Kalau kita lihat di hampir semua bahasa daerah di Indonesia, anak mudanya cenderung berka’bah ke Jakarta sebagai Mekahnya gaya dan gengsi. Nggak tau apa yang mereka lihat dari crwoded concrete jungle itu. Penggunaan Elu dan Gua sepertinya wajib ditambahkan dalam bahasa mereka. Tak kalah pula bahasa Bali yang terpengaruh. Lucu memang mendengarnya ketika anak muda Bali berbicara bahasa daerah ber Elu-Gua dengan dialek Balinya. Lebih lucu lagi bahasa Ngapak yang terpengaruh. Beberapa teman saya berceloteh melucu: “Gyeh Wan, kemaren gua liat Paijo Hondahan pelan pelan di prapatan, trus gua panggil panggil sampe mbengok mbengok ko ngga nylingak nylingak. Eh ga taunya kupingnya lagi pake ipod. Gua ya jadi celilian sendiri.”

Kembali ke krama Inggil, memang anak muda sekarang lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia kepada orang tuanya daripada krama Inggil yang lebih enak didengar. Tidak bisa menyalahkan generasi muda saja, orang tua juga mereka tidak perduli apakah anak anak mereka bisa berbahasa krama inggil atau tidak, jadi ya wis.

Hal menarik ketika saya mencoba menggunakan bahasa krama inggil di mailinglist berbahasa ngapak dan saya membuat satu kesalahan, saya disebut tidak punya unggah ungguh. Ironis.

Penulis mengharapkan koreksi dan masukan atas kesalahan yang mungkin dibuat. Terimakasih.

Oleh: Irawan

1 comment:

Damar Who Land said...

jangan kuatir bos,...wong mojokerto ae mung nduwe kromo inggil tp setitik bae. mengko tak bagi deh,....ben ora minder yen ora ndduwe kromo inggil