Mar 9, 2009

MENGAPA HARUS MAULIDAN? (BAGIAN II)

Alasan demi mencintai Rasulullah SAW hanyalah kilah para pihak yang terlanjur menggemari perayaan maulid. Masih ada setumpuk syubhat yang mereka lontarkan. Di antaranya:

1. Perayaan/Peringatan Maulid Nabi Merupakan Salah Satu Bentuk Penghormatan dan Pengagungan Kepada Beliau.

Sanggahan:
Menghormati dan mengagungkan Rasulullah SAW hanyalah dengan cara menaatinya, menjalankan perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Tidak bisa dilakukan dengan cara bid’ah, Khurafat, dan maksiat, bahkan terkadang sampai tingkat musyrik - Na’udzubillah min dzalik.

Para sahabat beliaulah yang paling menghormati dan mengagungkannya. Urwah bin Mas’ud, seorang duta kaum Quraisy untuk menemui Rasulullah SAW bercerita kepada orang-orang Quraisy, “Wahai kaumku, demi Allah, kalian pernah mengutusku sebagai duta kepada Kisra, raja Romawi, kepada Qaishar raja Persia, dan raja-raja yang lainnya; sungguh saya tidak pernah melihat seorang raja yang dihormati dan diagungkan oleh para sahabatnya sebagaimana sahabat Muhammad mengagungkan Muhammad. Demi Allah, mereka tidak berani mengangkat pandangan mereka kepadanya demi penghormatan dan pengagungan kepadanya.”

Meskipun demikian, para sahabat Nabi tidak menjadikan hari kelahiran beliau sebagia hari ulang tahun yang dirayakan atau diperingati. Kalaulah hal itu baik tentu mereka tidak akan meninggalkannya. Mereka lebih bersemangat dalam kebaikan, ittiba’ (mengikuti), taat dan menghidupkan sunnah-sunnah beliau secara lahir dan batin.

2. Perayaan atau Peringatan Maulid Nabi merupakan Sarana untuk Menghidupkan Penyebutan Nama Nabi SAW

Sanggahan:
Menghidupkan penyebutan nama Nabi harus berdasarkan syariat. Sebagaimana Allah perintahkan dalam firman-Nya,
Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.” [Al-Insyirah: 4]
Maksudnya, nama beliau ikut disebut bersama nama Allah, seperti dalam adzan, iqamah, khutbah, shalat, tasyahhud, atau pembacaan hadits. Hal seperti ini sering diulang setiap harinya, bukan hanya sekali setahun ketika memperingati maulid Nabi yang tidak ada dasarnya.

3. Meski Bid’ah, Perayaan Maulid Nabi termasuk Bid’ah Hasanah karena dilaksanakan sebagai Rasa Syukur kepada Allah atas Keberadaan Nabi yang Mulia.

Sanggahan:
Bid’ah, jika menyangkut urusan agama, tidak dikenal istilah bid’ah hasanah. Dasarnya hadits:
“Siapa yang menghidupkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dalam din kami, amalannya ditolak, tidak diterima.” [Shahih al-Bukhari no. 2550 dan Shahih Muslim no. 1718]Begitu pula sabda beliau:
“Dan sungguh setiap bid’ah adalah sesat.” [Fathul Bari Syarhu Shahil al-Bukhari no. 6849]

Kalau memang maulid adalah ungkapan syukur, mengapa sejak generasi sahabat hingga imam madzhab yang empat tidak ada yang melakukannya? Apakah logika keimanan mereka lebih rendah dibanding orang-orang ini menyangka lebih mendapat petunjuk daripada generasi awal tersebut? Sejarah menoreh tinta emas bukti generasi awal tersebut lebih bersemangat terhadap kebaikan dan lebih banyak bersyukur kepada Allah.

4. Menginggalkan Perayaan/Peringatan Maulid Nabi Berarti Mengurangi Hak Beliau

Sanggahan:
Jika yang dimaksud adalah orang yang meninggalkan perayaan maulid kurang keyakinannya kepada Rasulullah SAW, maka sebuah tuduhan yang gegabah dan tidak berdasar. Apabila yang dimaksud adalah berkurangnya hak-hak Nabi secar syariat, maka kembalinya adalah al-Kitab dan al-Sunnah yang sahih serta tiga generasi awal yang telak dipersaksikan keutamaannya. Tidak ditemukan perintah mengadakan maulid Nabi dalam Kitab dan Sunnah serta tidak ada contoh pelaksanaannya dari mereka. Bukankah kita beragama dengan dalil yang sahih dan pemahaman yang benar, bukan dengan perasaan dan mengesampingkan dalil?

Imam Malik berkata, “Barangsiapa membuat suatu bid’ah dalam Islam lantas menganggapnya sebagai suatu kebaikan, berarti menuduh Nabi Muhammad SAW telah mengkhianati risalah karena Allah berfirman,
Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridhai Islam menjadi agama kalian.” [Al-Maidah: 3]

Jadi, apa yang pada hari itu bukan termasuk agama, maka pada hari ini pun bukan termasuk agama.”
[Ilmu Ushulil Bida’ karya Ali Hasan Abdul Hamid hal. 20 terbitan Dar al-Rayah cetakan ke-2 tahun 1417H]
Sungguh aneh ketika orang mengaku mencintai Rasulullah SAW tetapi justru menabrak rambu-rambunya. Jika betul mereka mencintai Rasulullah SAW dan keluarganya tentu mereka akan ingat pesan penyair:

Jikalau cintamu tidak dusta, niscaya engkau akan menaatinya. Sungguh orang yang mencintai akan mematuhi orang yang dicintainya.
Jika maulid bukan meniru kebiasaan Natal orang Nasrani, tetap saja merupakan bid’ah orang Syi’ah ekstrim, Syi’ah Bathiniyah yang dikenal dengan sebutan Qaramithat. Mereka mencampakkan hadits Rasulullah SAW yang menegaskan keutamaan Abu Bakar dan Umar atas yang lain. Mereka pula yang melakukan laknat kepada Aisyah RA, isteri Rasulullah SAW yang sangat mencintainya. Mengikuti perayaan maulid berarti mengikuti kebiasaan mereka. Sementara Rasulullah SAW memperingatkan,
Barangsiapa meniru suatu kaum, berarti dia termasuk bagian dari mereka.” [Sunnah Abu Dawud no. 431]

Akhirnya, sulit dibenarkan jika perayaan [peringatan] maulid nabi dengan segala modelnya diklaim sebagai sebuah bentuk kebaikan dalam rangka menaati dan mencintai Rasulullah SAW. Justru kebenaran ada pada pihak yang menolak melakukannya, demi ketaatan kepada Rasulullah SAW dalam menjaga kebersihan ajaran Islam. Bukankan masih banak sunnah-sunnah Rasulullah SAW yang masih terbengkelai belum kita sentuh? Sungguuh ironi, sementara bid’ah maulid dibela mati-matian. Semoga kita terhindar dari pengaruh dan tipu daya para penyeru bid’ah bahkan terkadang tidak memahami sunnah. Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: Majalah Fatawa Vol V/No. 02/Shafar 1430 : Pebruari 2009. Hal 8-11.

No comments: